
FOCUS NEWS INDONESIA.com, KUPANG – Aliansi Rakyat Anti Korupsi (ARAKSI) menilai ketidakhadiran POLDA NTT (Kapolda NTT, Irjen Pol. L. Latif., SH., MH) dan Kejati NTT (Kajati NTT, Dr. Yulianto SH., MH) dalam diskusi publik bertema “Mengurai Benang Kusut P19 Kasus Bawang Merah Malaka” pada Kamis (22/04/2021) di Kupang merupakan bentuk sikap menghindar dari Polda NTT dan Kejati NTT untuk mengurai (menjelaskan secara detail, red) ‘benang kusut’ penyelesaian kasus korupsi Bawang Merah Malaka. Dua Lembaga Hukum tersebut dinilai tidak menghargai undangan Araksi dan tidak peduli alias masa bodoh dengan penyelesaian hukum kasus Korupsi Bawang Merah Malaka.
Demikian dikatakan Ketua ARAKSI, Alfred Baun saat ditemui tim media ini di Celebes Resto and Cafe Kupang, diakhir sesi diskusi tersebut Kamis (22/04/2021).
“Jelas ARAKSI kecewa dengan sikap apatis POLDA NTT dan KEJATI NTT yang tidak menghargai undangan diskusi dari ARAKSI, terkait Kasus Korupsi Bawang Merah Malaka. Kami menilai POLDA NTT dan KEJATI NTT menghindar dari undangan ARAKSI,” tandas Alfred.
Menurut Ketua ARAKSI, sebenarnya diskusi publik tersebut bertujuan membantu kedua lembaga hukum dimaksud dalam mengurai benang kusut penangangan kasus korupsi proyek pengadaan benih bawang merah di Kabupaten Malaka. Diskusi tersebut juga akan membantu mengembalikan kepercayaan public terhadap Polda NTT dan Kejati NTT terkait penegakan hukum di NTT. Terutama penegakan hukum terkait kasus korupsi pengadaan bawang merah yang sudah mandek selama kurang lebih lima tahun.
ARAKSI, kata Alfred, memberikan tenggang waktu hingga akhir bulan April kepada kedua lembaga hukum tersebut untuk menuntaskan kasus korupsi bawang merah Malaka. Apabila dalam tenggang waktu tersebut, kasus itu belum P21, maka ARAKSI akan meminta KPK untuk mengambilalih kasus ini. “Apabila dalam bulan ini kasus ini (Korupsi Bawang Merah Malaka, red) tidak P21, maka ARAKSI akan minta KPK ambil alih kasus ini. POLDA NTT dan KEJATI NTT menyerah sudah, tidak usah tangani kasus ini” tegas Alfred Baun.
Sebagaiamana disaksikan tim media ini, diskusi publik dengan tema “Mengurai Benang Kusut P19 Kasus Bawang Merah Kabupaten Malaka” itu menghadirkan tiga orang pembicara dari kalangan akademisi yakni Dr. Simplexius Asa,SH.,MH akademisi dari Fakultas hukum Universitas Nusa Cendana, Mikhael Feka, SH.,MH akademisi dari Fakultas hukum Universitas Widya Mandira Kupang, dan Johanes J.Nami S.IP.,MIP akademisi dari Fakulatas Ilmu Sosial Politik Universitas Nusa Cendana. Sementara KAPOLDA NTT, Irjen Pol. I. Latif, SH., MH dan KEJATI NTT, Dr. Yulianto, SH., MH yang juga diharapkan menjadi pembicara terkait kasus tersebut tidak hadir.
Akademisi Unwira Kupang, Mikhael Feka, SH., MH. dalam pemaparannya mengungkapkan, bahwa yang dibutuhkan dalam proses penegakan hukum terkait kasus korupsi pengadaan bawang merah di kabupaten Malaka adalah niat baik (good will) dari para penegak hukum (Polda NTT dan Kejati NTT, red) itu sendiri dan harus dilepaskan dari segala bentuk kepentingan atau intervensi politik.
”Menurut saya masalah kasus ini ada pada niat baik atau good will, dan kasus ini harus dijauhkan dari intervensi politik, karena hal itu yang menghambat proses penegakan hukum di negara kita,” tegasnya.
Menurutnya, pasal- pasal dalam undang-undang tindak pidana korupsi yang diterapkan dalam proses penegakan hukum untuk kasus korupsi bawang merah Malaka sudah tepat yakni pasal 2 ayat1, pasal 3, dan pasal 11. Dan tidak ada alasan bagi Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk tidak menaikan status kasus ini ke P21. “Secara umum, saya melihat pasal yang digunakan dalam kasus ini sudah tepat, jadi tidak ada alasan bagi JPU untuk tidak P21 kasus ini” tandas Mikhael.
Mikhael Feka pun mengajak publik NTT untuk bersama-sama memberikan dukungan moril kepada pihak penyidik POLDA NTT dan KEJATI agar segera memproses kasus ini sehingga statusnya menjadi P21. ”Dengan melihat berkas yang ada, menurut saya masalahnya kembali ke good will, jadi mari kita sama- sama berikan dukungan moril kepada penyidik POLDA NTT dan KEJATI NTT agar kasus ini bias segera P21,” ajaknya.
Terkait dengan P19, lanjutnya, ini sudah masuk kedalam tahap yang namanya pra penuntutan, dan ditahap ini pihak penyidik sudah tidak bekerja sendiri. Tetapi sudah dibantu oleh pihak Kejaksaan Tinggi. Oleh karena itu, apabila berkas perkara masih bolak- balik di antara pihak penyidik Polda dan Kejaksaan hingga berkali-kali, maka ini tidak elegan dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
Menurutnya, sebagai akademisi dan orang yang dimintai pendapatnya terkait kasus tersebut, ia menilai berkas perkara kasus Korupsi Bawang Merah Malaka sudah lengkap, karena sudah memiliki dua alat bukti dan apabila masih tersendat, maka ada ‘faktor lain’ yang bekerja yakni faktor non-hukum. Lebih Faktor non hukum dimaksud adalah kemungkinan adanya intervensi politik, politik uang, dan favoritisme.
Sementara itu, Dr. Simplexius Asa., SH., MH dalam pemaparannya di diskusi tersebut berpendapat, bahwa yang berhak menyampaikan apakah ada benang kusut dalam proses penegakan hukum kasus dugaan korupsi proyek bawang merah di Kabupaten Malaka adalah POLDA NTT dan KEJATI NTT. ”Kalau saya ditanya, apa penyebab benang kusut dalam kasus ini, maka saya tidak punya kapasitas untuk jawab itu karena yang tahu adalah dua lembaga ini (Polda NTT dan Kejati NTT, red)” tandas Asa.
Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa, kalaupun benar ada benang kusut dalam proses penegakan hukum terkait kasus korupsi bawang merah Malaka itu, maka negara sudah menyediakan fasilitas yang dapat digunakan kedua lembaga ini yakni chek and balance yang biasa dilakukan pendekatan personal (personal approach) dan pendekatan institusi (institutional approach), dan yang terakhir meminta partisipasi public untuk membantu menilai kasus tersebut dan membantu Polda NTT dan Kejati NTT mengurai benang kusut kasus dimaksud.
Terkait penyebab mandeknya penegakan hukum kasus korupsi pengadaan bawang merah di Kabupaten Malaka yang memakan waktu bertahun-tahun, menurut Dr.Simplexius Asa, pihak POLDA dan KEJATI lah harus menjelaskannya pada publik. “Ada banyak faktor penyebab mandeknya penanganan kasus in, salah satunya bisa saja disebabkan oleh ego atau gengsi institusi yang berlebihan,” jelasnya.
Menurut Asa, untuk menuntaskan kasus korupsi bawang merah Kabupaten Malaka dibutuhkan good will, yang ditandai dengan adanya political will, political skill, dan political action. “Tadi pak Mikhael bicara soal niat baik atau good will. Kalau versi saya good will itu harus ditandai dengan adanya political will, political skill, dan political action. Jangan-jangan aparat kita masalahnya bukan di good will, good will ada tapi skill yang tidak ada”tegasnya.
Dr. Simplexius Asa menambahkan, bahwa proses penegakan hukum kasus korupsi bawang merah Malaka yang memakan waktu lama akan sangat berpengaruh pada kepercayaan public terhadap Polda NTT dan Kejati NTT. ”Dengan melihat proses penegakan hukum yang berlarut- larut terhadap kasus ini, maka pertanyaanya masih layakkah kedua lembaga ini untuk mendapatkan kepercayaan publik? Biarkan publik yang menilainya,” imbuhnya.
Sementara itu, Johanes J. Nami S.IP.,MIP pembicara terakhir di diskusi tersebut mengungkapkan bahwa penegakan hukum yang berlarut-larut terkait kasus korupsi bawang merah malaka merupakan tindakan yang tidak mempertimbangkan rasa keadilan untuk publik. Apabila dibiarkan, maka publik akan merasa permisif terhadap penegakan hukum di NTT dan permisif terhadap masalah korupsi. Akibatnya Korupsi bisa merajalela dan menjadi sifat dari masyarakat.
“Saya berharap, agar semua elemen terutama penegak hukum menghidupkan kembali fungsi control social public terkait proses penegakan hukum. Terutama yang berhubungan dengan masalah korupsi,” tutupnya. (FNI/Tim)