
FOCUS NEWS INDONESIA.COM – Dalam pidato kenegaraan, Presiden Joko Widodo mengingatkan agar jangan ada lagi politik identitas. Apa yang salah dengan politik identitas? Apakah politik identitas akan selalu membentuk polarisasi yang merusak bangsa?
”Saya ingatkan, jangan ada lagi politik identitas. Jangan ada lagi politisasi agama. Jangan ada lagi polarisasi sosial. Demokrasi kita harus semakin dewasa. Konsolidasi nasional harus diperkuat”. Begitulah isi Pidato Kenegaraan Presiden Joko Widodo, pada 16 Agustus 2022 yang lalu.
Lalu, Apa yang salah dengan politik identitas? Apakah politik identitas akan selalu membentuk polarisasi yang merusak bangsa?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut berseliweran dalam berbagai perbincangan publik dan media sosial, terutama setelah Presiden Joko Widodo memberi peringatan melalui Pidato Kenegaraan di hadapan anggota MPR RI.
Pertanyaan ini wajar muncul karena politik dengan menggunakan identitas, terutama identitas agama, bisa dikatakan sudah jadi bagian dari sejarah kebangsaan kita. Hal ini terjadi bukan belakangan ini saja, melainkan sejak masa-masa awal kemerdekaan. Bahkan, politik identitas adalah bagian dari sejarah nasionalisme untuk merebut kemerdekaan.
Munculnya kelompok ”nasionalis Islam” dan ”nasionalis sekuler” yang bertarung gagasan mengenai fondasi dasar negara menjelang proklamasi 17 Agustus 1945 dalam batas tertentu bisa disebut sebagai politik identitas.
PADA LEVEL TERTENTU MEMPUNYAI POTENSI BAHAYA.
Munculnya partai-partai berbasis dan berideologi agama yang ikut berkompetisi dalam pemilu pertama 1955 juga merupakan politik identitas. Hingga sekarang, mendirikan partai berdasarkan agama merupakan sesuatu yang legal meski sepanjang sejarah pemilu di Indonesia, partai berdasarkan agama tak pernah memenangi pemilu. Dalam pendaftaran partai politik di Komisi Pemilihan Umum untuk peserta Pemilu 2024 juga masih ada partai berdasarkan agama.
Dengan fakta-fakta ini, politik identitas hampir tak bisa dipisahkan dalam perjalanan politik di Indonesia. Sebagai negara dengan mayoritas Muslim, tentu Islam yang kuat arus politiknya. Karena itu, kita penting memahami secara lebih jernih mengenai politik identitas. Politik identitas sampai pada level tertentu memang mempunyai potensi bahaya.
LEVEL POLITIK IDENTITAS
Politik identitas bisanya didefinisikan sebagai alat politik suatu kelompok, seperti etnik, suku, budaya, agama, atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, terutama dalam kompetisi politik kekuasaan.
Politik identitas ini bisa dilakukan dalam konteks perlawanan politik atau sebagai alat untuk menunjukkan jati diri suatu kelompok tersebut. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrem, yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa ”sama”, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya. Meski berbagai identitas bisa dimainkan untuk mendapat dukungan elektoral, identitas agama dianggap paling bahaya.
Dengan pengertian itu, politik identitas bisa diidentifikasi dalam beberapa level :
PERTAMA, Politik identitas terkait dengan penggunaan simbol-simbol identitas tertentu, termasuk simbol-simbol keagamaan maupun etnis dalam kontestasi politik. Hal ini bisa dilihat, misalnya, adanya parpol yang menggunakan simbol-simbol yang dengan mudah diasosiasikan sebagai simbol keagamaan atau etnik.
Demikian juga jika ada caleg yang menggunakan simbol-simbol keagamaan dalam baliho atau flyer dan sebagainya juga merupakan politik identitas. Politik identitas pada level ini masih dianggap sebagai hal wajar yang tak dipersoalkan.
KEDUA, Politik identitas terkait dengan penggunaan agama sebagai asas parpol. Politik identitas dalam level ini—sebagaimana disinggung di awal tulisan ini—bukan saja tidak dilarang oleh hukum, melainkan juga sudah menjadi bagian yang melekat dalam sejarah kebangsaan kita.
KETIGA, Politik identitas terkait dengan menjadikan isu-isu keagamaan sebagai agenda dan program politik. Persoalan agama sering dijadikan agenda kampanye politik oleh partai atau orang yang sedang berkontestasi dalam politik.
Politik kebencian berbasis identitas yang menjadi kekhawatiran banyak pihak, termasuk Presiden Jokowi, lebih banyak digerakkan oleh kekuatan politik nonformal.
Persoalan keagamaan juga sering menjadi perdebatan dalam perumusan kebijakan pemerintah. Politik identitas dalam pengertian ini juga sudah menjadi hal yang dianggap wajar. Sebagai bangsa yang dikenal religius, tak mungkin persoalan agama dikeluarkan dari agenda kebijakan pemerintah. Meski demikian, jika terkait politik identitas terkait kebijakan ini tidak terjadi keseimbangan di antara berbagai kelompok akan menimbulkan kecemburuan dan diskriminasi.
KEEMPAT, Politik identitas dengan kebencian terhadap kelompok atau pihak-pihak yang dianggap sebagai lawan politik. Politik identitas jenis ini yang paling mempunyai daya rusak dahsyat karena bisa mendorong pada polarisasi yang destruktif. Politik kebencian dengan menggunakan identitas inilah yang diingatkan Presiden Jokowi agar pada Pemilu 2024 tak terjadi polarisasi dan politik kebencian berdasarkan identitas.
Politik kebencian akan menghalalkan segala cara, bukan saja dengan mengeluarkan kata-kata kotor, melainkan juga bisa menggunakan kekerasan untuk membinasakan dan merendahkan lawan politiknya. Kebencian itu tak jarang dibumbui dengan dalil-dalil agama dengan menumbuhkan perasaan terancam (feeling threaten) jika lawan politiknya memenangi pertarungan.
Kalau politik identitas sudah berakar kuat dalam tradisi politik Indonesia, mengapa Indonesia masih kokoh bertahan? Salah satu jawabannya adalah karena politik identitas tersebut tidak diikuti dengan politik kebencian sehingga kondisi politik segera kembali cair begitu kontestasi selesai.
Hal demikian sudah ditunjukkan founding fathers kita. Meskipun mereka mempunyai ideologi dan haluan politik yang sepenuhnya berbeda, rasa hormat satu dengan yang lain masih tertanam kuat. Namun, jika politik kebencian yang digunakan, rasa hormat atas lawan politiknya tidak ada lagi, berakhirnya kontestasi politik juga tidak mengubah kebenciannya kepada lawan politik.
DI LUAR POLITIK FORMAL
Politik kebencian berbasis identitas yang menjadi kekhawatiran banyak pihak, termasuk Presiden Jokowi, lebih banyak digerakkan oleh kekuatan politik nonformal. Politik formal, seperti parpol dan parlemen, meski terkadang menggunakan isu identitas, mereka lebih terkontrol. Parpol yang menggunakan asas keagamaan, atau yang mengusung ideologi keagamaan, akan termoderasi dengan sendirinya karena ada tata aturan yang harus mereka ikuti.
Partai politik seharusnya melawan politik kebencian berbasis identitas, bukan justru memanfaatkan mereka. Mereka tidak mungkin akan membuat pernyataan-pernyataan yang secara vulgar menyerang atau merendahkan partai lain. Biasanya mereka hanya akan saling sindir yang tidak bertendensi politik kebencian berbasis identitas.
Hal demikian berbeda dengan gerakan politik yang dilakukan kelompok-kelompok ekstra parlemen yang sejak awal membawa politik kebencian berbasis identitas. Inilah yang bisa menjelaskan mengapa politik kebencian berbasis identitas terjadi hampir tak terkendali dalam Pilkada DKI 2017 dan dalam level yang lebih rendah juga terjadi dalam Pemilihan Presiden 2019.
Pada kegiatan politik tersebut kekuatan-kekuatan politik nonformal yang mengusung politik kebencian cukup kuat mendominasi ruang publik, terutama melalui media sosial. Sayangnya, kekuatan politik formal tidak cukup punya filter untuk menyaring politik kebencian berbasis identitas ini. Mereka tidak segan bekerja sama dengan kekuatan politik nonformal pengusung politik kebencian semata untuk mendapatkan dukungan elektoral. Disinilah letak persoalannya. Partai politik seharusnya melawan politik kebencian berbasis identitas, bukan justru memanfaatkan mereka.
Terlepas dari itu, politik kebencian berbasis identitas pada dasarnya merupakan puncak dari gunung es. Di balik itu ada sistem berpikir yang membentuk, seperti politik kebencian dianggap sebagai perintah agama, selalu merasa terancam eksistensinya, atau merasa diperlakukan tidak adil. Sistem berpikir demikian harus diperbaiki. Jika tidak, politik kebencian akan terus muncul pada momentum tertentu. (Focus News Indonesia/FNI)
Arsip Pribadi : RUMADI AHMAD ( Tenaga Ahli Utama Kedeputian V KSP, Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta).
Editor: SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
Sumber : kompas.id